Wednesday, April 06, 2016

Kepemimpinan



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Pemimpin merupakan salah satu elemen terpenting yang tak akan pernah hllang dari kehidupan sosial manusia. Dia muncul karena adanya berbagai perbedaan dalam kehidupan manuisa yang heterogen, yang kemudian butuh untuk disatukan diselaraskan dan diarahkan agar perbedaan-perbedaan itu tidak melahirkan konflik. Pada dasarnya pemimpin ada untuk itu. Dia bagai “orang terpilih” karena semua pihak yang berbeda pendapat setuju untuk menjadikannya penengah. Oleh sebab itu kebanyakan pemimpin sejati yang kita kenal adalah orang yang memiliki kelebihan-kelebihan dibanding manusia kebanyakan. Ini sangat wajar dan memang seharusnya begitu, karena tak mungkin ia akan disepakati menjadi pemimpin kalau ia tak punya hal-hal yang membuat orang lain “mengalah” kepadanya.

Namun yang perlu dipahami adalah, walaupun semua pemimpin memiliki tujuan dasar yang sama, mereka tetaplah individu yang berbeda maka bukanlah sesuatu yang aneh jika cara mereka memimpin juga berbeda, inilah yang kita kenal dengan Kepemimpinan. Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat dipahami jika ada seribu pemimpin sejak peradaban manusia dimulai maka akan ada seribu gaya kepemimpinan yang juga ikut terbentuk. Walaupun begitu, para peneliti telah mengelompokkan beragam kepemimpinan tersebut ke dalam beberapa kelompok berdasarkan sifat maupun ciri umumnya, sehingga lebih mudah bagi kita untuk mempelajarinya.
Para ahli telah banyak mendefinisikan kepemimpinan menurut beragam perspektif dan aspek yang diteliti. Menurut Robbins (1996 : 39), kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Hersey et al (1996 : 99) bahwa kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus berorientasi pada tugas (tasks) dan hubungan antar manusia (human relationship).

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah adalah :
a.       Apakah Kepemimpinan Transformasional mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan ?
b.       Apakah motivasi kerja mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan?

C.    Pembatasan Masalah

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah yangdihadapi perusahaan, maka dalam hal ini penulis membatasi penyajian masalah yang akan dibahas. Adapun permasalahan itu, hanya dikhususkan pada kepemimpinan transformasional dan motivasi terhadap kinerja karyawan.

D.    Tujuan Makalah

Dalam makalah ini tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:
a.       Untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan Transformasional terhadap kinerja karyawan.
b.      Untuk menganalisis pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja karyawan.

E.     Manfaat Makalah

Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu :
a.       Bagi Praktisi
Dapat memberikan masukan mengenai pengaruh kepemimpinan dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan, guna mewujudkan suatuperilaku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasanbersamaan dengan tercapainya sasaran-sasaran organisasi.

b.      Bagi Kalangan Akademis
Dapat menjadi acuan untuk mengembangkan makalah-makalah selanjutnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan transformasional dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan.
BAB II
 KERANGKA TEORI

A.    Definisi Kepemimpinan Transformasional

Secara umum definisi kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai berikut. “Kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan” (Rosmiati, Taty: 2009; 125). Kepemimpinan merupakan sumbangan dari sesorang di dalam situasi-situasi kerjasama. Kepemimpinan dan kelompok adalah merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Tak ada kelompok, tanpa adanya kepemimpinan, dan sebaliknya kepemimpinan hanya ada dalam situasi interaksi kelompok. Seseorang tidak dapat dikatakan pemimpin jika ia berada di luar kelompok, ia harus berada di dalam suatu kelompok dimana ia memainkan peranan-peranan dan kegiatan-kegiatan kepemimpinannya.

Menurut Ralp M. Stogdill dalam Dadang Suhardan 2009, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok yang diorganisir menuju kepada penentuan dan pencapaian tujuan. Sedangkan menurut Sondang P. Siagian, Kepemimpinan merupakan motor atau daya penggerak daripada semua sumber, dan alat yang tersedia bagi suatu organisasi (Suhardan; 2009: 125).
Secara garis besar, dapat disimpulkan kepemimpinan yakni Suatu kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya agar dapat bekerja secara efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Menurut Covey, 1989 (Peters, 1992), (Suhardan, 2009: 151), Pemimpin transformasional sesungguhnya merupakan agen perubahan, karena memang erat kaitannya dengan transformasi yang terjadi dalam suatu organisasi. Fungsi utamanya berperan sebagai katalis perubahan, bukannya sebagai pengontrol perubahan. Seorang pemimpin transformasional memiliki visi yang jelas, memiliki gambaran holistic tentang bagaiman organisasi dimasa depan ketika semua tujuan dan sasarannya telah tercapai.

Sergeovanni, 1990: 21 (Suhardan, 2009: 152) berargumentasi bahwa makna simbolis dari tindakan seorang pemimpin transformasional adalah lebih penting dari tindakan aktual. Nilai-nilai yang dijunjung oleh pemimpin yang terpenting adalah segalanya. Artinya, ia menjadi model dari nilai-nilai tersebut, mentransformasikan nilai organisasi jika perlu untuk membantu mewujudkan visi organisasi. Elemen yang paling utama dari karakteristik seorang pemimpin transformasional adalah dia harus memiliki hasrat kuat untuk mencapai tujuan organisasi. Seorang pemimpin transformasional adalah seorang pemimpin yang memiliki keahlian diagnosis, dan selalu meluangkan waktu dan mencurahkan perhatian dalam upaya untuk memecahkan masalah dari berbagai aspek.
Robbins (1996 : 40) menyatakan bahwa terdapat tiga haluan besar dalam pengembangan teori kepemimpinan, yaitu:
1. Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory)
2. Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory)
3. Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational theory)
Berikut ini dijelaskan mengenai tiga haluan besar dalam teori kepemimpinan yang diungkapkan oleh Robbins pada tahun 1996 tersebut:
 1.   Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory)
Sejarah teori dan penelitian kepemimpinan dimulai oleh Bernard yang pada tahun 1926 menyatakan bahwa kepemimpinan bisa dijelaskan oleh kualitas internal atau sifat yang dibawa seseorang sejak lahir (Horner, 1997 : 270). Teori ini dinamakan teori sifat (traits theory), dengan inti teori yaitu seorang pemimpin adalah dilahirkan dan bukan dibuat atau direkayasa. Indikator dari teori sifat adalah kemampuan mengarahkan secara alamiah, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan serta pengetahuan yang luas mengenai pekerjaan. Koontz (1980 : 665) menyimpulkan bahwa ada empat sifat utama yang berpengaruh terhadap kesuksesan seorang pemimpin, yaitu kecerdasan, kedewasaan & keluasan hubungan sosial, motivasi diri & dorongan berprestasi dan sikap-sikap hubungan manusiawi. Kesimpulan dari penelitian ini, sebagaimana dinyatakan oleh Bernard pada tahun 1926, mengarahkan pada premis bahwa pemimpin itu dilahirkan. Selanjutnya, Horner (1997 : 270) menyebutkan bahwa setelah teori sifat terungkap, maka peneliti lain mulai melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini (Stogdill, 1948; 1974; Ghiselli, 1963; 1971; Argyris, 1970; Lundin, 1973). Namun ditemukan kelemahan teori ini yaitu tidak adanya jawaban yang valid dan jelas mengenai berbagai macam sifat yang secara konsisten mampu menggambarkan sebuah tipe kepemimpinan yang efektif. Kelemahan teori ini memaksa para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Bahasan berikutnya adalah mengenai efektivitas kepemimpinan, apa yang dilakukan oleh pemimpin agar efektif, bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka mengkomunikasikan ide dan memotivasi pengikutnya, bagaimana mereka mencapai target dalam menyelesaikan tugas, dan bagaimana berbagai perilaku pemimpin mengantarkannya menjadi sukses (Wahjono, 2010 : 269). Selanjutnya Horner (1997 : 270) menambahkan bahwa kelemahan lain dari teori sifat adalah tidak mampu menggambarkan hubungan yang jelas antara atasan dan bawahan serta situasi pekerjaan.
 2.   Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory)
Tidak seperti teori sifat (traits theory) yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, maka pada teori perilaku (behavior theory) justru menyatakan sebaliknya, bahwa pemimpin itu dibentuk dan diarahkan (Wahjono, 2010 : 269). Kelemahan teori sifat menjadi dasar munculnya teori kepemimpinan berdasarkan perilaku, dimana Halpin dan Winer pada tahun 1950 dalam Robbins (1996 : 40) mengemukakan sebuah teori kepemimpinan dengan penekanan pada perbuatan atau perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin dan bukan dinilai dari sifat yang dibawa sejak lahir. Teori ini dinamakan teori perilaku (behavior theory), dengan inti teori yaitu seseorang dikatakan pemimpin atau mengerti konsep kepemimpinan tergantung dari perilaku yang ditunjukkan dalam meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi. Halpin dan Winer pada tahun 1950 menambahkan bahwa semua orang dapat menjadi pemimpin yang sukses atau mengerti konsep kepemimpinan dengan mempelajari perilaku seorang pemimpin yang telah sukses. Yukl (1989 : 257) menyebutkan bahwa banyak peneliti yang telah melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini, di antaranya Mintzberg (1973), McCall, Morrison dan Hannan (1978), McCall dan Segrist (1980), Kotter (1982), Kurke dan Aldrich (1983), Kanter (1983), Gabarro (1985), dan Kaplan (1986).
Penelitian lanjutan mengenai teori ini dilakukan oleh Universitas Ohio dan Michigan yang menghasilkan dua dimensi kepemimpinan berdasarkan perilaku, yaitu (Robbins, 1996 : 41):
  1. Consideration atau kepemimpinan yang berorientasi pekerja, yang menekankan pada rasa dan hubungan antar individu pekerja.
  2. Initiating structure atau kepemimpinan yang berorientasi tugas, yang menekankan pada pekerjaan dalam mencapai tujuan.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa pemimpin yang berorientasi pada pekerja diyakini dapat menimbulkan produktivitas yang tinggi dan kepuasan kerja. Selanjutnya Universitas Iowa mengemukakan pendekatan lain yang dianggap mampu menjelaskan mengenai teori kepemimpinan, yaitu:
  1. Democratic, yaitu mendelegasikan tugas dan selalu melibatkan karyawan
  2. Autocratic, yaitu melakukan sentralisasi perintah dan pendiktean
  3. Laissez-faire style, yaitu kebebasan dalam melakukan apapun atau pemimpin yang tidak terlalu peduli pada aktivitas karyawan (no leadership)
Blake, shepard dan Mouton pada tahun 1964 mengembangkan model kepemimpinan lanjutan dengan berbasis pada hasil penelitian dari universitas Ohio, Michigan dan Iowa (Horner, 1997 : 271). Blake, Shepard dan Mouton merumuskan dua dimensi yang hampir serupa dengan penelitian Ohio dan Michigan yaitu concern for people dan concern for output dan dikemudian hari mereka menambahkan dimensi yang ketiga, yakni fleksibilitas.
Namun seperti penelitian yang dilakukan pada teori sifat, teori kepemimpinan berbasis perilaku gagal dalam pelaksanaannya karena teori ini belum sepenuhnya dapat menjelaskan mengenai kepemimpinan dan mengabaikan faktor situasi. Faktor situasi pekerjaan seharusnya tidak boleh diabaikan karena tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin pada seluruh situasi pekerjaan (Uprihanto, Harsiwi & Hadi dalam Rahyuda, 2008 : 12).
 3.   Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational theory)
Berdasarkan kelemahan teori sifat dan teori perilaku yang mengabaikan faktor situasi pekerjaan, maka pendekatan mengenai teori kepemimpinan yang menghububungkan sifat maupun perilaku dengan situasi pekerjaan mulai dilakukan. Pendekatan ini dinamakan pendekatan situasional yang mengemukakan bahwa efektivitas kepemimpinan tergantung pada kesesuaian antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi. Pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan paling ideal dalam menjelaskan hubungan antara pemimpin, bawahan dan situasi (Horner, 1997 : 271). Menurut Horner (1997 : 271), inti dari teori situasional menggambarkan bahwa tipe yang digunakan oleh pemimpin tergantung pada faktor-faktor seperti pemimpin itu sendiri, pengikut serta situasi. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu mengubah tipe kepemimpinan secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan situasi.
Salah satu teori kepemimpinan yang menggunakan pendekatan situasional adalah teori kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan oleh Fiedler pada tahun 1967 (Luthans, 2005 :649). Teori kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa kinerja pegawai yang efektif hanya dapat tercapai apabila terjadi kesamaan visi antara tipe kepemimpinan seorang pemimpin dengan bawahannya serta sejauh mana pemimpin mampu mengendalikan situasi. Tiga dimensi penting yang muncul pada model kepemimpinan kontingensi, yaitu:
  1. Leader-member relations (hubungan pemimpin-anggota), yaitu hubungan pemimpin dengan anggota, besaran kadar kepercayaan serta respek dari bawahan terhadap pemimpin.
  2. Task structure (tingkat strukur tugas), yaitu kadar formalisasi dan prosedur operasional standar pada struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin.
  3. Position power (kekuasaan posisi pemimpin), yaitu otoritas pada suatu situasi seperti penerimaan dan pemberhentian pegawai, disiplin, promosi serta peningkatan upah.
Teori kepemimpinan situasional lainnya dikemukakan oleh Vroom dan Yetton pada tahun 1973 (Horner, 1997 : 271). Teori yang dinamakan teori normatif Vroom-Yetton ini menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin bawahan dalam berbagai situasi. Model ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun tipe kepemimpinan yang dapat efektif diterapkan dalam berbagai situasi. Pilihan mengenai tipe kepemimpinan yang akan dianut hanya efektif jika sesuai dengan situasi yang dihadapi. Selanjutnya House dan Mitchell pada tahun 1974 mengemukakan teori situasional dengan berbasis pada hasil penelitian dari Universitas Ohio (Robbins, 1996 : 52). Teori yang dinamakan sebagai teori path-goal ini mengungkapkan bahwa seorang pemimpin mempunyai tugas untuk membantu bawahan dalam mencapai tujuan-tujuan (goal) mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan tersebut sejalan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pada intinya, teori path-goal menjelaskan empat perilaku pemimpin, yaitu (Wahjono, 2010 : 284):
  1. Pemimpin direktif, mengarahkan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya, menjadwalkan pekerjaan, mempertahankan standar kinerja, dan memperjelas peranan pemimpin dalam kelompok.
  2. Pemimpin suportif, melakukan berbagai usaha agar pekerjaan menjadi lebih menyenangkan, memperlakukan pengikut dengan adil, bersahabat, dan mudah bergaul serta memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
  3. Pemimpin partisipatif, melibatkan bawahan, meminta saran bawahan dan menggunakannya dalam proses pengambilan keputusan.
  4. Pemimpin yang berorientasi pada kinerja, menentukan tujuan-tujuan yang menantang, mengharap kinerja yang tinggi, menekankan pentingnya kinerja yang berkelanjutan, optimistik dan memenuhi standar-standar yang tinggi.
Intinya, teori path goal mengasumsikan bahwa pemimpin harus fleksibel sehingga apabila situasi membutuhkan perubahan tipe kepemimpinan, maka pemimpin mampu mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat. Namun Horner (1997 : 271) mengungkapkan bahwa dari sekian banyak peneliti yang meneliti tentang teori situasional, ternyata diketahui bahwa teori situasional sangat ambigu karena teori ini lebih menjelaskan konsep-konsep manajerial, dengan kata lain teori tersebut seharusnya ditujukan untuk manajer. Selain itu, teori situasional tidak mampu menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan itu sendiri. Kelemahan lain dari teori ini adalah tidak menjelaskan perlu atau tidaknya pekerja mengubah perilaku, seperti yang dilakukan pemimpin, sesuai dengan perubahan situasi pekerjaan. 


B.     Konsepsi Kepemimpinan Transformasional

Konsepsi kepemimpinan transformasional pertama kali dikemukakan oleh James McGregor Burns. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan transformasional, Bernard Bass (Stone et al, 2004) mengatakan sebagai berikut: “Transformational leaders transform the personal values of followers to support the vision and goals of the organization by fostering an environment where relationships can be formed and by establishing a climate of trust in which visions can be shared”. Selanjutnya, secara operasional Bernard Bass (Gill et al, 2010) memaknai kepemimpinan transformasional sebagai berikut: “Leadership and performance beyond expectations”. Sedangkan Tracy and Hinkin (Gill dkk, 2010) memaknai kepemimpinan transformasional sebagai berikut: “The process of influencing major changes in the attitudes and assumptions of organization members and building commitment for the organization’s mission or objectives”.
Leithwood (1999) berpendapat transformational leadership is seen to be sensitive to organization building developing shared vision, distributing leadership and building school culture necessary to current restructuring efforts in school. Sedangkan Burns (1978) mengemukakan kepemimpinan transformasional ialah a process in which leaders and followers raise to higher levels of morality and motivation. Gaya kepemimpinan semacam ini akan mampu membawa kesadaran para pengikut (followers) dengan memunculkan ide-ide produktif, hubungan yang bersinergi, kebertanggungjawaban, kepedulian edukasi, dan cita-cita bersama.
Hal ini dipertegas oleh Yulk (1994) yang menyatakan bahwa esensi kepemimpinan transformasional adalah memberdayakan para pengikutnya untuk berkinerja secara efektif dengan membangun komitmen mereka terhadap nilai-nilai baru, mengembangkan keterampilan dan kepercayaan mereka, dan menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas. Menurut House pemimpin yang transformasional memotivasi bawahan mereka untuk kinerja di atas dan melebihi panggilan tugasnya (Suyanto, 2003). Esensinya kepemimpinan transformasional adalah sharing of power dengan melibatkan bawahan secara bersama-sama untuk melakukan perubahan.
Dalam merumuskan perubahan biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, dimana lingkungan kerja yang partisipatif dengan model manajemen yang kolegial yang penuh keterbukaan dan keputusan diambil bersama. Dengan demikian kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menciptakan perubahan yang mendasar dan dilandasi oleh nilai-nilai agama sistem dan budaya untuk menciptakan inovasi dan kreativitas pengikutnya dalam rangka mencapai visi yang telah ditetapkan.
C.    Karakteristik Kepemimpinan Transaksional
Adapun, karakteristik kepemimpinan transformasional menurut Avolio dkk (Stone et al, 2004) adalah sebagai berikut:
(1) Idealized influence (or charismatic influence)
Idealized influence mempunyai makna bahwa seorang pemimpin transformasional harus kharisma yang mampu “menyihir” bawahan untuk bereaksi mengikuti pimppinan. Dalam bentuk konkrit, kharisma ini ditunjukan melalui perilaku pemahaman terhadap visi dan misi organisasi, mempunyai pendirian yang kukuh, komitmen dan konsisten terhadap setiap keputusan yang telah diambil, dan menghargai bawahan. Dengan kata lain, pemimpin transformasional menjadi role model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya.
(2) Inspirational motivation
Inspirational motivation berarti karakter seorang pemimpin yang mampu menerapkan standar yang tinngi akan tetapi sekaligus mampu mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut. Karakter seperti ini mampu membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi dari pawa bawahan. Dengan kata lain, pemimpin transformasional senantiasa memberikan inspirasi dan memotivasi bawahannya.
(3) Intellectual stimulation
Intellectual stimulation karakter seorang pemimpin transformasional yang mampu mendorong bawahannya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cermat dan rasional. Selain itu, karakter ini mendorong para bawahan untuk menemukan cara baru yang lbih efektif dalam menyelesaikan masalah. Dengan kata lain, pemimpin transformasional mampu mendorong (menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif.
(4) Individualized consideration
Individualized consideration berarti karakter seorang pemimpin yang mampu memahami perbedaan individual para bawahannya. Dalam hal ini, pemimpin transformasional mau dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, dan melatih bawahan. Selain itu, seorang pemimpin transformasional mampu melihat potensi prestasi dan kebutuhan berkembang para bawahan serta memfasilitasinya. Dengan kata lain, pemimpin transformasional mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan kebutuhan bawahan dan memperhatikan keinginan berprestas dan berkembang para bawahan.
Gaya kepemimpinan transformasional diyakini oleh banyak pihak sebagai gaya kepemimpinan yang efektif dalam memotivasi para bawahan untuk berperilaku seperti yang diinginkan. Menurut Bernard Bass (NN, 2009), dalam rangka memotivasi pegawai, bagi pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan transformasional, terdapat tiga cara sebagai berikut:
  1. Mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha.
  2. Mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok.
  3. Meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri.
Seorang pemimpin yang ingin secara efektif menerapkan gaya kepemimpinan transformasional, harus mampu melakukan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Memahami visi dan misi organisasi;
  2. Memahami lingkungan organisasi melalui analisis lingkungan strategis (swot);
  3. Merumuskan rencana strategis organisasi;
  4. Menginternalisasikan visi, misi, kondisi lingkungan strategis, dan rencana startegis pada seluruh anggota organisasi;
  5. Mengendalikan rencana strategis melalui manajemen pengawasan yang tepat;
  6. Memahami kebutuhan para pegawai;
  7. Memahami kapasitas para pegawai;
  8. Mendistribusikan pekerjaan sesuai dengan kapasitas pegawai; dan
  9. Mengapresiasi hasil pekerjaan pegawai.
Pemimpin transformasional mengubah dan memotivasi pengikutnya dengan:
a. Membuat mereka lebih menyadari pentingnya dan nilai hasil dari sutau tugas
b. Mengajak mereka untuk mengatasi kepentingan mereka sendiri demi kepentinan organisasi atau kelompok lain
c.  Menggerakkan pada tingkat kebutuhan yang lebih tinggi

     Ciri-ciri Pemimpin Transformasional:
1. Melihat diri sendiri sebagai wakil dari proses perubahan
2. Berhati-hati dalam mengambil resiko
3. Memberi kepercayaan terhadap orang-orang dan memahami kebutuhannya
4. Mampu memberi penjelasan mengenai nilai-nilai yang ditampilkan melalui tingkah laku mereka sehari-hari
5. Fleksibel dan terbuka untuk belajar dari pengalaman
6. Memiliki keahlian kognitif dan percaya terhadap suatu disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk menganalisis suatu masalah
7. Memiliki keyakinan terhadap intuisinya

      Ciri-ciri Lain Kepemimpinan Transformasional:
1. Mengembangkan suatu kejelasan dalam penyampaian visi
2. Mengembangkan strategi untuk mencapai visi
3. Mengkomunikasikan dan mempromosikan visi
4. Tindakan yang memberi keyakinan dan optimisme
5. Memberi kepercayaan kepada pengikut
6. Merayakan suatu kesuksesan
7. Menggunakan tindakan-tindakan dramatis dan simbolis untuk menekankan nilai-nilai     utama
8. Memimpin dengan menggunakan contoh
9. Menciptakan, memodifikasi, atau mengeliminasi bentuk-bentuk budaya
10.Menggunakan upacara-upacara untuk membantu orang-orang dalam meneruskan proses perubahan
BAB III  
PEMBAHASAN

A.    Pengaruh Kepemimpinan Transformasional
a.       Kepemimpinan Transformasional Terhadap Perilaku Ekstra Peran
Pada makalah Podsakoff et al., (1990 dalam Utomo, 2002) bahwa perilaku kepemimpinan mempengaruhi bawahan untuk menghasilkan kinerja melebihi apa yang seharusnya atau melebihi level minimum yang dipersyaratkan organisasi. Dalam pandangan yang sama, makalah DiPoala dan Tschannen-Moran (2001, dalam Tschannen-Moran, 2003) “dengan latar belakang lingkungan pendidikan menunjukkan sebuah hubungan kuat antara gaya kepemimpinan pada lingkungan universitas dengan perilaku ekstra peran. Organ dan Ryan (1995, dalam Tschannen-Moran, 2003) juga menjelaskan bahwa kepemimpinan yang mendukung memiliki hubungan dengan perilaku ekstra peran.

b.      Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan akan Kualitas Kehidupan Kerja
Kualitas kehidupan kerja mempengaruhi kinerja organisasi, artinya, kinerja seseorang akan meningkat ketika kualitas kehidupan kerja dari individu berada pada posisi yang tinggi. Kualitas kehidupan kerja pada beberapa makalah dihubungkan dengan kepemimpinan, dimana kepemimpinan yang efektif akan selalu memberikan dampak dengan meningkatnya kualitas kehidupan kerja dari bawahannya. Makalah Podsakof et al. (1996), menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan akan kualitas kehidupan kerja secara menyeluruh.
c.       Kepemimpinan Transformasional Terhadap Komitmen Organisasi
Pada dasarnya secara organisasional komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya melalui perilaku kepemimpinan, seperti yang dikemukankan oleh Su-Yung Fu (2000) bahwa selain kepemimpinan transformasional, hal lain yang penting dalam perilaku organisasional adalah komitmen organisasi. Dalam tiga dekade terakhir, komitmen organisasi telah dipandang sebagai salah satu variabel yang paling penting dalam mempelajari manajemen dan perilaku organisasi. Yousef (2000) mengemukakan bahwa terdapat hubungan secara positif antara perilaku kepemimpinan dengan komitmen organisasi.

d.      Kepuasan Atas Kualitas Kehidupan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi
Secara dominan hasil-hasil makalah telah membuktikan bahwa kepuasan akan kualitas kehidupan kerja mempengaruhi komitmen seorang karyawan terhadap organisasi yang mempekerjakannya (Currivan, 2000). Menurut Lam dan Zhang (2003) bahwa “ekspetasi tidak tercapai yang terjadi dikalangan karyawan banyak dihubungkan dengan dua hasil dominan dari proses sosialisasi, yaitu komitmen organisasional (Tannenbaun et al., 1991; Wanous et al., 1992, dalam Lam dan Zhang, 2003). Lawler dan Mueller (1996, dalam Currivan, 2000) menyimpulkan bahwa kepuasan akan kualitas kehidupan kerja memainkan peran penting terhadap komitmen organisasional.
e.       Kepuasan Atas Kualitas Kehidupan Kerja Terhadap Perilaku Ekstra Peran
Murpy et al., (2002) dalam makalahnya membuktikan bahwa kualitas kehidupan kerja berhubungan signifikan dengan perilaku ekstra peran. Spector (1997, dalam Robbins, 2003:105) mengatakan bahwa tampaknya logis untuk mengandaikan bahwa kepuasan terhadap kualitas kehidupan kerja seharusnya merupakan penentu utama dari perilaku kewarganegaraan yang baik dari seorang karyawan (organizational citizenship behavior-OCB).
f.       Komitmen Organisasi Terhadap Perilaku Ekstra Peran
Hasil-hasil makalah yang telah dilakukan seperti pada makalah Carson dan Carson, 1998; Morrison, 1994; Munene, 1995; Organ, 1990; Puffer, 1987; O‟Reilly dan Chatman, 1986; Bateman dan Organ, 1983, secara empiris mendukung adanya hubungan antara komitmen organisasi dan perilaku ekstra peran (dalam Alotaibi, 2001). Demikian halnya dengan makalah Su-Yung Fu (2000) bahwa beberapa hasil makalah mengindikasikan bahwa komitment organisasi (maupun kepuasan kerja) secara keseluruhan memiliki hubungan dengan perilaku ekstra peran. Secara khusus menurut Alotaibi (2001) “komitmen afektif dan kepuasan kerja seringkali dipertimbangkan sebagai antasenden terhadap pro-social, extra-role behavior dalam organisasi.
B. Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)

         Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.

        Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa “the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance”. Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya.
      
             Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir
C. Kelebihan dan kekurangan kepemimpinan transformasional
Kelebihan dari kepemimpinan transformasional :
1. Tidak membutuhkan biaya yang besar (organisasi profit)
2. Komitmen yang timbul pada karyawan bersifat mengikat emosional
3. Mampu memberdayakan potensi karyawan
4. Meningkatkan hubungan interpersonal
Kekurangan dari kepemimpinan transformasional :
    1. Waktu yang lama agar komitmen bawahan tumbuh terhadap pemimpin
     2. Tidak ada jaminan keberhasilan pada bawahan secara menyeluruh
     3. Membutuhkan pehatian pada detail
     4. Sulit dilakukan pada jumlah bawahan yang banyak
Dalam menerapkan suatu model kepemimpinan maka perlu di perhatikan :
     1. Tingkat keterampilan dan pengalaman tim anda.
     2. Pekerjaan yang dilakukan (rutin atau baru dan kreatif)
3. Lingkungan organisasional (stabil atau berubah radikal, konservatif )
4. Gaya alami pilihan anda.




D.    Urgensi Kepemimpinan Transformasional

     Gary Yulk dalam Leadership in Organization (1989), amat gamblang memperlihatkan karakter dari kepemimpinan transformatif itu.

Pertama, fokus kepemimpinan transformatif pertama-tama terarah pada kepentingan bawahannya. Di sini animo utama dari pemimpin adalah perbaikan kondisi bawahan. Jadi ia membawa bawahan keluar dari kondisi keterpurukannya menuju kondisi yang lebih baik. Upaya itu diwujudkan dengan kebijakan-kebijakan yang memungkinkan perbaikan itu.

Kedua, pemimpin transformatif berupaya untuk memberikan perhatian pada nilainilai etis. Artinya, perhatian pemimpin transformatif juga terkait dengan perbaikan kualitas moralitas dan motivasi dari bawahan yang dipimpinnya. Dengan kata lain, pemimpin transformasional menyuarakan cita-cita dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, tanggung jawab sosial lewat empati. Landasannya ialah bahwa setiap orang berharga baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Karena itulah ia harus diangkat dan dihargai secara total. Jadi, pemimpin membangkitkan kesadaran dari pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi.

Ketiga, pemimpin transformatif tidak menggurui, melainkan mengaktifkan para pengikut untuk melakukan inovasi-inovasi untuk bangkit dari keterpurukannya. Di sini Yulk memperlihatkan bahwa seorang pemimpin bukan sebagai penentu segalanya, melainkan pendamping dan partner bagi bawahannya

Keempat, kepemimpinan transformatif mengandung muatan stimulasi intelektual. Dalam sistem seperti ini intensi penguasa adalah meningkatkan kesadaran pengikutnya akan masalah-masalah konkret dan memandang masalah itu dari perspektif yang baru. Jadi, ada semacam konsistensi.

Kelima, kepemimpinan transformatif menghidupkan dialog dalam strata sosial lewat komunikasi politik yang sehat. Dialog ini mengandaikan adanya keterbukaan dan visi yang jelas dari seorang pemimpin.

BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kepemimpinan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan berorganisasi. Banyak gaya kepemimpinan dapat dipilih untuk kemudian diterapkan oleh seorang pemimpin dalam organisasi yang dipimpinnya. Sekalipun gaya kepemimpinan transformasional diyakini oleh banyak pihak sebagai salah satu gaya kepemimpinan yang terbaik, namun pelaksanaanya membutuhkan beberapa kondisi, baik dalam diri si pemimpin maupun kondsi organisasinya.
Hasil dari makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekstra   peran.
2. Kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kualitas kehidupan kerja.
3. Kualitas kehidupan kerja memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku ekstra peran.

B.     Saran

Berikut ini saran yang dapat diberikan:
1. Bagi pimpinan dapat mempertahankan kepemimpinan transformasional dan memberikan pemahaman tentang perilaku ekstra peran sehingga mereka dapat lebih menunjukkan sikap saling membantu.
2. Perusahaan hendaknya melakukan peninjauan kembali terhadap penerapan QWL selama ini, salah satunya pada indikator pelatihan dan pendidikan dengan memberikan beasiswa yang lebih banyak agar karyawan dapat merasakan manfaat positif dari penerapan QWL.
3. Perlu dilakukan makalah lanjutan dengan mempertimbangkan cakupan obyek makalah yang lebih luas, agar lebih dalam menggali faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan transformasional, kualitas kehidupan kerja maupun perilaku ekstra peran.




DAFTAR PUSTAKA

Barling, J., Webber, T., dan Kelloway, E.K. 1996. Effect of Transformasional Leadership Training on Attitudinal and Financial Outcomes: A Field Experiment. Journal of Applied Psychology, 81: 827-832.

Bass, B.M. 1990. Bass and Stogdill's Handbook of Leadership. New York: Free Press.

Bass, B.M. 1990. From Transactional to Transformational Leadership: Learning to Share the Vision. Organizational Dynamics. Dalam Steers, R.M., Porter, L.W., dan Bigley, G. A. (Eds.). 1996. Motivation and Leadership at Work. Sixth Edition. New York: The McGraw-Hill Companies. 628-640.

Bass, B.M. 1997. The Transactional-Transformational Leadership Paradigm Transcend Organizational and National Boundaries? Journal American Psychologist, 52: 130¬139.

Daft, R.L. 1999. Leadership Theory and Practice. Florida: The Dryden Press.

Howell, J.M., dan Hall-Merenda, K.E. 1999. The Ties That Blind: The Impact of Leader-Member Exchange, Transformational and Transactional Leadership, and Distance on Predicting Follower Performance. Journal of Applied Psychology, 84 (5): 680-694.

Judge, T.A., dan Bono, J.E. 2000. Five-Factor Model of Personality and Transformational Leadership. Journal of Applied Psychology, 85 (5): 751-765.

Koh, W.L., Sterrs, R.M., dan Terborg, J. R. 1995. The Effect of Transformational Leadership on Teacher Attitudes and Student Performance in Singapore. Journal of Organizational Behavior, 16: 319-333.

Nanus, B. 1992. Visionary Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Nicholls, J. 1994. The "Heart, Head, and Hands" of Transforming Leadership. Leadership and Organization Development Journal, 15 (6): 8-15.

Pawar, B.S., dan Eastman, K.K. 1997. The Nature and Implications of Contextual Influences on Transformational Leadership: A Conceptual Examination. Academy of Management Review, 22 (1): 80-109.

Popper, M., dan Zakkai, E. 1994. Transactional, Charismatic, and Transformational Leadership: Condition Conductive To Their Predominance. Leadership and Organization Development Journal, 15 (6): 3-7.

Yukl, G.A. 1998. Leadership in Organization. Second Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

No comments:

Post a Comment