BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemimpin merupakan
salah satu elemen terpenting yang tak akan pernah hllang dari kehidupan sosial
manusia. Dia muncul karena adanya berbagai perbedaan dalam kehidupan manuisa
yang heterogen, yang kemudian butuh untuk disatukan diselaraskan dan diarahkan
agar perbedaan-perbedaan itu tidak melahirkan konflik. Pada dasarnya pemimpin
ada untuk itu. Dia bagai “orang terpilih” karena semua pihak yang berbeda
pendapat setuju untuk menjadikannya penengah. Oleh sebab itu kebanyakan
pemimpin sejati yang kita kenal adalah orang yang memiliki kelebihan-kelebihan
dibanding manusia kebanyakan. Ini sangat wajar dan memang seharusnya begitu,
karena tak mungkin ia akan disepakati menjadi pemimpin kalau ia tak punya
hal-hal yang membuat orang lain “mengalah” kepadanya.
Namun yang perlu
dipahami adalah, walaupun semua pemimpin memiliki tujuan dasar yang sama,
mereka tetaplah individu yang berbeda maka bukanlah sesuatu yang aneh jika cara
mereka memimpin juga berbeda, inilah yang kita kenal dengan Kepemimpinan.
Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat dipahami jika ada seribu pemimpin sejak
peradaban manusia dimulai maka akan ada seribu gaya kepemimpinan yang juga ikut
terbentuk. Walaupun begitu, para peneliti telah mengelompokkan beragam
kepemimpinan tersebut ke dalam beberapa kelompok berdasarkan sifat maupun ciri
umumnya, sehingga lebih mudah bagi kita untuk mempelajarinya.
Para ahli telah banyak mendefinisikan kepemimpinan
menurut beragam perspektif dan aspek yang diteliti. Menurut Robbins (1996 :
39), kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah
pencapaian tujuan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Hersey et al (1996
: 99) bahwa kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi aktivitas individu
atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena
itu, seorang pemimpin harus berorientasi pada tugas (tasks) dan hubungan
antar manusia (human relationship).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
diatas, maka perumusan masalah adalah :
a. Apakah Kepemimpinan Transformasional mempunyai pengaruh terhadap kinerja
karyawan ?
b. Apakah motivasi kerja mempunyai
pengaruh terhadap kinerja karyawan?
C. Pembatasan Masalah
Untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai masalah yangdihadapi perusahaan, maka dalam hal
ini penulis membatasi penyajian masalah yang akan dibahas. Adapun permasalahan
itu, hanya dikhususkan pada kepemimpinan transformasional dan motivasi terhadap
kinerja karyawan.
D. Tujuan Makalah
Dalam makalah ini
tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan Transformasional terhadap kinerja
karyawan.
b. Untuk menganalisis pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja karyawan.
E. Manfaat Makalah
Makalah ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu :
a. Bagi Praktisi
Dapat memberikan masukan mengenai pengaruh kepemimpinan dan motivasi kerja
terhadap kinerja karyawan, guna mewujudkan suatuperilaku yang diarahkan pada
tujuan mencapai sasaran kepuasanbersamaan dengan tercapainya sasaran-sasaran
organisasi.
b. Bagi Kalangan Akademis
Dapat menjadi acuan untuk mengembangkan makalah-makalah selanjutnya
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan transformasional dan
motivasi kerja terhadap kinerja karyawan.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Definisi Kepemimpinan Transformasional
Secara umum
definisi kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai berikut. “Kepemimpinan adalah
kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seorang untuk dapat mempengaruhi,
mendorong, memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan
selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan
tertentu yang telah ditetapkan” (Rosmiati, Taty: 2009; 125). Kepemimpinan
merupakan sumbangan dari sesorang di dalam situasi-situasi kerjasama.
Kepemimpinan dan kelompok adalah merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
antara yang satu dengan yang lain. Tak ada kelompok, tanpa adanya kepemimpinan,
dan sebaliknya kepemimpinan hanya ada dalam situasi interaksi kelompok.
Seseorang tidak dapat dikatakan pemimpin jika ia berada di luar kelompok, ia harus
berada di dalam suatu kelompok dimana ia memainkan peranan-peranan dan
kegiatan-kegiatan kepemimpinannya.
Menurut Ralp M.
Stogdill dalam Dadang Suhardan 2009, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
kegiatan-kegiatan kelompok yang diorganisir menuju kepada penentuan dan
pencapaian tujuan. Sedangkan menurut Sondang P. Siagian, Kepemimpinan merupakan
motor atau daya penggerak daripada semua sumber, dan alat yang tersedia bagi
suatu organisasi (Suhardan; 2009: 125).
Secara garis besar, dapat disimpulkan kepemimpinan yakni Suatu kemampuan dan
kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing, mengarahkan, dan
menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya agar dapat bekerja secara efektif
untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Covey,
1989 (Peters, 1992), (Suhardan, 2009: 151), Pemimpin transformasional
sesungguhnya merupakan agen perubahan, karena memang erat kaitannya dengan
transformasi yang terjadi dalam suatu organisasi. Fungsi utamanya berperan
sebagai katalis perubahan, bukannya sebagai pengontrol perubahan. Seorang
pemimpin transformasional memiliki visi yang jelas, memiliki gambaran holistic
tentang bagaiman organisasi dimasa depan ketika semua tujuan dan sasarannya telah
tercapai.
Sergeovanni,
1990: 21 (Suhardan, 2009: 152) berargumentasi bahwa makna simbolis dari
tindakan seorang pemimpin transformasional adalah lebih penting dari tindakan
aktual. Nilai-nilai yang dijunjung oleh pemimpin yang terpenting adalah
segalanya. Artinya, ia menjadi model dari nilai-nilai tersebut,
mentransformasikan nilai organisasi jika perlu untuk membantu mewujudkan visi
organisasi. Elemen yang paling utama dari karakteristik seorang pemimpin
transformasional adalah dia harus memiliki hasrat kuat untuk mencapai tujuan
organisasi. Seorang pemimpin transformasional adalah seorang pemimpin yang
memiliki keahlian diagnosis, dan selalu meluangkan waktu dan mencurahkan
perhatian dalam upaya untuk memecahkan masalah dari berbagai aspek.
Robbins (1996 : 40) menyatakan bahwa terdapat tiga
haluan besar dalam pengembangan teori kepemimpinan, yaitu:
1. Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits
theory)
2. Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior
theory)
3. Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational
theory)
Berikut ini dijelaskan mengenai tiga haluan besar
dalam teori kepemimpinan yang diungkapkan oleh Robbins pada tahun 1996
tersebut:
1. Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory)
Sejarah teori dan penelitian kepemimpinan dimulai oleh
Bernard yang pada tahun 1926 menyatakan bahwa kepemimpinan bisa dijelaskan oleh
kualitas internal atau sifat yang dibawa seseorang sejak lahir (Horner, 1997 :
270). Teori ini dinamakan teori sifat (traits theory), dengan inti teori
yaitu seorang pemimpin adalah dilahirkan dan bukan dibuat atau direkayasa.
Indikator dari teori sifat adalah kemampuan mengarahkan secara alamiah, hasrat
untuk memimpin, kejujuran dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan serta
pengetahuan yang luas mengenai pekerjaan. Koontz (1980 : 665) menyimpulkan
bahwa ada empat sifat utama yang berpengaruh terhadap kesuksesan seorang
pemimpin, yaitu kecerdasan, kedewasaan & keluasan hubungan sosial, motivasi
diri & dorongan berprestasi dan sikap-sikap hubungan manusiawi. Kesimpulan
dari penelitian ini, sebagaimana dinyatakan oleh Bernard pada tahun 1926,
mengarahkan pada premis bahwa pemimpin itu dilahirkan. Selanjutnya, Horner
(1997 : 270) menyebutkan bahwa setelah teori sifat terungkap, maka peneliti
lain mulai melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini
(Stogdill, 1948; 1974; Ghiselli, 1963; 1971; Argyris, 1970; Lundin, 1973).
Namun ditemukan kelemahan teori ini yaitu tidak adanya jawaban yang valid dan
jelas mengenai berbagai macam sifat yang secara konsisten mampu menggambarkan
sebuah tipe kepemimpinan yang efektif. Kelemahan teori ini memaksa para
peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Bahasan berikutnya adalah
mengenai efektivitas kepemimpinan, apa yang dilakukan oleh pemimpin agar
efektif, bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka
mengkomunikasikan ide dan memotivasi pengikutnya, bagaimana mereka mencapai
target dalam menyelesaikan tugas, dan bagaimana berbagai perilaku pemimpin
mengantarkannya menjadi sukses (Wahjono, 2010 : 269). Selanjutnya Horner (1997
: 270) menambahkan bahwa kelemahan lain dari teori sifat adalah tidak mampu
menggambarkan hubungan yang jelas antara atasan dan bawahan serta situasi
pekerjaan.
2. Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory)
Tidak seperti teori sifat (traits theory) yang
menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, maka pada teori perilaku (behavior
theory) justru menyatakan sebaliknya, bahwa pemimpin itu dibentuk dan
diarahkan (Wahjono, 2010 : 269). Kelemahan teori sifat menjadi dasar munculnya
teori kepemimpinan berdasarkan perilaku, dimana Halpin dan Winer pada tahun
1950 dalam Robbins (1996 : 40) mengemukakan sebuah teori kepemimpinan dengan
penekanan pada perbuatan atau perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin dan bukan
dinilai dari sifat yang dibawa sejak lahir. Teori ini dinamakan teori perilaku (behavior
theory), dengan inti teori yaitu seseorang dikatakan pemimpin atau mengerti
konsep kepemimpinan tergantung dari perilaku yang ditunjukkan dalam
meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi. Halpin dan Winer
pada tahun 1950 menambahkan bahwa semua orang dapat menjadi pemimpin yang
sukses atau mengerti konsep kepemimpinan dengan mempelajari perilaku seorang
pemimpin yang telah sukses. Yukl (1989 : 257) menyebutkan bahwa banyak peneliti
yang telah melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini,
di antaranya Mintzberg (1973), McCall, Morrison dan Hannan (1978), McCall dan
Segrist (1980), Kotter (1982), Kurke dan Aldrich (1983), Kanter (1983), Gabarro
(1985), dan Kaplan (1986).
Penelitian lanjutan mengenai teori ini dilakukan oleh
Universitas Ohio dan Michigan yang menghasilkan dua dimensi kepemimpinan
berdasarkan perilaku, yaitu (Robbins, 1996 : 41):
- Consideration atau kepemimpinan yang berorientasi pekerja,
yang menekankan pada rasa dan hubungan antar individu pekerja.
- Initiating
structure atau
kepemimpinan yang berorientasi tugas, yang menekankan pada pekerjaan dalam
mencapai tujuan.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa pemimpin
yang berorientasi pada pekerja diyakini dapat menimbulkan produktivitas yang
tinggi dan kepuasan kerja. Selanjutnya Universitas Iowa mengemukakan pendekatan
lain yang dianggap mampu menjelaskan mengenai teori kepemimpinan, yaitu:
- Democratic, yaitu mendelegasikan tugas dan selalu
melibatkan karyawan
- Autocratic, yaitu melakukan sentralisasi perintah dan
pendiktean
- Laissez-faire
style,
yaitu kebebasan dalam melakukan apapun atau pemimpin yang tidak terlalu
peduli pada aktivitas karyawan (no leadership)
Blake, shepard dan Mouton pada tahun 1964
mengembangkan model kepemimpinan lanjutan dengan berbasis pada hasil penelitian
dari universitas Ohio, Michigan dan Iowa (Horner, 1997 : 271). Blake, Shepard
dan Mouton merumuskan dua dimensi yang hampir serupa dengan penelitian Ohio dan
Michigan yaitu concern for people dan concern for output dan
dikemudian hari mereka menambahkan dimensi yang ketiga, yakni fleksibilitas.
Namun seperti penelitian yang dilakukan pada teori
sifat, teori kepemimpinan berbasis perilaku gagal dalam pelaksanaannya karena
teori ini belum sepenuhnya dapat menjelaskan mengenai kepemimpinan dan
mengabaikan faktor situasi. Faktor situasi pekerjaan seharusnya tidak boleh
diabaikan karena tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap
pemimpin pada seluruh situasi pekerjaan (Uprihanto, Harsiwi & Hadi dalam
Rahyuda, 2008 : 12).
3. Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational
theory)
Berdasarkan kelemahan teori sifat dan teori perilaku
yang mengabaikan faktor situasi pekerjaan, maka pendekatan mengenai teori
kepemimpinan yang menghububungkan sifat maupun perilaku dengan situasi
pekerjaan mulai dilakukan. Pendekatan ini dinamakan pendekatan situasional yang
mengemukakan bahwa efektivitas kepemimpinan tergantung pada kesesuaian antara
kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi. Pendekatan ini dianggap
sebagai pendekatan paling ideal dalam menjelaskan hubungan antara pemimpin,
bawahan dan situasi (Horner, 1997 : 271). Menurut Horner (1997 : 271), inti
dari teori situasional menggambarkan bahwa tipe yang digunakan oleh pemimpin
tergantung pada faktor-faktor seperti pemimpin itu sendiri, pengikut serta
situasi. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu mengubah tipe
kepemimpinan secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan situasi.
Salah satu teori kepemimpinan yang menggunakan
pendekatan situasional adalah teori kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan
oleh Fiedler pada tahun 1967 (Luthans, 2005 :649). Teori kepemimpinan
kontingensi menyatakan bahwa kinerja pegawai yang efektif hanya dapat tercapai
apabila terjadi kesamaan visi antara tipe kepemimpinan seorang pemimpin dengan
bawahannya serta sejauh mana pemimpin mampu mengendalikan situasi. Tiga dimensi
penting yang muncul pada model kepemimpinan kontingensi, yaitu:
- Leader-member
relations
(hubungan pemimpin-anggota), yaitu hubungan pemimpin dengan anggota,
besaran kadar kepercayaan serta respek dari bawahan terhadap pemimpin.
- Task
structure
(tingkat strukur tugas), yaitu kadar formalisasi dan prosedur operasional
standar pada struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin.
- Position
power
(kekuasaan posisi pemimpin), yaitu otoritas pada suatu situasi seperti
penerimaan dan pemberhentian pegawai, disiplin, promosi serta peningkatan
upah.
Teori kepemimpinan situasional lainnya dikemukakan
oleh Vroom dan Yetton pada tahun 1973 (Horner, 1997 : 271). Teori yang
dinamakan teori normatif Vroom-Yetton ini menjelaskan bagaimana seorang
pemimpin harus memimpin bawahan dalam berbagai situasi. Model ini menunjukkan
bahwa tidak ada satupun tipe kepemimpinan yang dapat efektif diterapkan dalam
berbagai situasi. Pilihan mengenai tipe kepemimpinan yang akan dianut hanya
efektif jika sesuai dengan situasi yang dihadapi. Selanjutnya House dan
Mitchell pada tahun 1974 mengemukakan teori situasional dengan berbasis pada
hasil penelitian dari Universitas Ohio (Robbins, 1996 : 52). Teori yang
dinamakan sebagai teori path-goal ini mengungkapkan bahwa seorang
pemimpin mempunyai tugas untuk membantu bawahan dalam mencapai tujuan-tujuan (goal)
mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang diperlukan
untuk memastikan bahwa tujuan tersebut sejalan dengan tujuan organisasi secara
keseluruhan. Pada intinya, teori path-goal menjelaskan empat perilaku
pemimpin, yaitu (Wahjono, 2010 : 284):
- Pemimpin
direktif, mengarahkan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana
caranya, menjadwalkan pekerjaan, mempertahankan standar kinerja, dan
memperjelas peranan pemimpin dalam kelompok.
- Pemimpin
suportif, melakukan berbagai usaha agar pekerjaan menjadi lebih
menyenangkan, memperlakukan pengikut dengan adil, bersahabat, dan mudah
bergaul serta memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
- Pemimpin
partisipatif, melibatkan bawahan, meminta saran bawahan dan menggunakannya
dalam proses pengambilan keputusan.
- Pemimpin
yang berorientasi pada kinerja, menentukan tujuan-tujuan yang menantang,
mengharap kinerja yang tinggi, menekankan pentingnya kinerja yang
berkelanjutan, optimistik dan memenuhi standar-standar yang tinggi.
Intinya, teori path goal mengasumsikan bahwa
pemimpin harus fleksibel sehingga apabila situasi membutuhkan perubahan tipe
kepemimpinan, maka pemimpin mampu mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat.
Namun Horner (1997 : 271) mengungkapkan bahwa dari sekian banyak peneliti yang
meneliti tentang teori situasional, ternyata diketahui bahwa teori situasional
sangat ambigu karena teori ini lebih menjelaskan konsep-konsep manajerial,
dengan kata lain teori tersebut seharusnya ditujukan untuk manajer. Selain itu,
teori situasional tidak mampu menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan itu
sendiri. Kelemahan lain dari teori ini adalah tidak menjelaskan perlu atau
tidaknya pekerja mengubah perilaku, seperti yang dilakukan pemimpin, sesuai
dengan perubahan situasi pekerjaan.
B. Konsepsi Kepemimpinan Transformasional
Konsepsi kepemimpinan
transformasional pertama kali dikemukakan oleh James McGregor Burns. Dalam
kaitannya dengan kepemimpinan transformasional, Bernard Bass (Stone et al,
2004) mengatakan sebagai berikut: “Transformational leaders transform the
personal values of followers to support the vision and goals of the
organization by fostering an environment where relationships can be formed and
by establishing a climate of trust in which visions can be shared”.
Selanjutnya, secara operasional Bernard Bass (Gill et al, 2010) memaknai
kepemimpinan transformasional sebagai berikut: “Leadership and performance
beyond expectations”. Sedangkan Tracy and Hinkin (Gill dkk, 2010) memaknai
kepemimpinan transformasional sebagai berikut: “The process of influencing
major changes in the attitudes and assumptions of organization members and
building commitment for the organization’s mission or objectives”.
Leithwood (1999) berpendapat transformational leadership is seen to be
sensitive to organization building developing shared vision, distributing
leadership and building school culture necessary to current restructuring
efforts in school. Sedangkan Burns (1978) mengemukakan kepemimpinan
transformasional ialah a process in which leaders and followers raise to
higher levels of morality and motivation. Gaya kepemimpinan semacam ini
akan mampu membawa kesadaran para pengikut (followers) dengan
memunculkan ide-ide produktif, hubungan yang bersinergi, kebertanggungjawaban,
kepedulian edukasi, dan cita-cita bersama.
Hal ini dipertegas oleh Yulk (1994) yang menyatakan bahwa esensi
kepemimpinan transformasional adalah memberdayakan para pengikutnya untuk
berkinerja secara efektif dengan membangun komitmen mereka terhadap nilai-nilai
baru, mengembangkan keterampilan dan kepercayaan mereka, dan menciptakan iklim
yang kondusif bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas. Menurut House
pemimpin yang transformasional memotivasi bawahan mereka untuk kinerja di atas
dan melebihi panggilan tugasnya (Suyanto, 2003). Esensinya kepemimpinan
transformasional adalah sharing of power dengan melibatkan
bawahan secara bersama-sama untuk melakukan perubahan.
Dalam merumuskan perubahan biasanya digunakan pendekatan transformasional
yang manusiawi, dimana lingkungan kerja yang partisipatif dengan model
manajemen yang kolegial yang penuh keterbukaan dan keputusan diambil bersama.
Dengan demikian kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu
menciptakan perubahan yang mendasar dan dilandasi oleh nilai-nilai agama sistem
dan budaya untuk menciptakan inovasi dan kreativitas pengikutnya dalam rangka
mencapai visi yang telah ditetapkan.
C. Karakteristik Kepemimpinan Transaksional
Adapun, karakteristik kepemimpinan transformasional menurut Avolio dkk
(Stone et al, 2004) adalah sebagai berikut:
(1) Idealized influence (or charismatic influence)
Idealized influence mempunyai makna bahwa
seorang pemimpin transformasional harus kharisma yang mampu “menyihir” bawahan
untuk bereaksi mengikuti pimppinan. Dalam bentuk konkrit, kharisma ini
ditunjukan melalui perilaku pemahaman terhadap visi dan misi organisasi,
mempunyai pendirian yang kukuh, komitmen dan konsisten terhadap setiap
keputusan yang telah diambil, dan menghargai bawahan. Dengan kata lain,
pemimpin transformasional menjadi role model yang dikagumi, dihargai,
dan diikuti oleh bawahannya.
(2) Inspirational motivation
Inspirational motivation berarti karakter
seorang pemimpin yang mampu menerapkan standar yang tinngi akan tetapi
sekaligus mampu mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut. Karakter
seperti ini mampu membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi dari pawa
bawahan. Dengan kata lain, pemimpin transformasional senantiasa memberikan
inspirasi dan memotivasi bawahannya.
(3) Intellectual stimulation
Intellectual stimulation karakter seorang pemimpin
transformasional yang mampu mendorong bawahannya untuk menyelesaikan
permasalahan dengan cermat dan rasional. Selain itu, karakter ini mendorong
para bawahan untuk menemukan cara baru yang lbih efektif dalam menyelesaikan
masalah. Dengan kata lain, pemimpin transformasional mampu mendorong
(menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif.
(4) Individualized consideration
Individualized consideration berarti karakter
seorang pemimpin yang mampu memahami perbedaan individual para bawahannya.
Dalam hal ini, pemimpin transformasional mau dan mampu untuk mendengar
aspirasi, mendidik, dan melatih bawahan. Selain itu, seorang pemimpin
transformasional mampu melihat potensi prestasi dan kebutuhan berkembang para
bawahan serta memfasilitasinya. Dengan kata lain, pemimpin transformasional
mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan kebutuhan bawahan dan
memperhatikan keinginan berprestas dan berkembang para bawahan.
Gaya kepemimpinan transformasional diyakini oleh banyak pihak sebagai gaya
kepemimpinan yang efektif dalam memotivasi para bawahan untuk berperilaku
seperti yang diinginkan. Menurut Bernard Bass (NN, 2009), dalam rangka
memotivasi pegawai, bagi pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan
transformasional, terdapat tiga cara sebagai berikut:
- Mendorong karyawan
untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha.
- Mendorong karyawan
untuk mendahulukan kepentingan kelompok.
- Meningkatkan
kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi
diri.
Seorang pemimpin yang ingin secara efektif menerapkan gaya kepemimpinan
transformasional, harus mampu melakukan beberapa hal sebagai berikut:
- Memahami visi dan
misi organisasi;
- Memahami
lingkungan organisasi melalui analisis lingkungan strategis (swot);
- Merumuskan rencana
strategis organisasi;
- Menginternalisasikan
visi, misi, kondisi lingkungan strategis, dan rencana startegis pada
seluruh anggota organisasi;
- Mengendalikan
rencana strategis melalui manajemen pengawasan yang tepat;
- Memahami kebutuhan
para pegawai;
- Memahami kapasitas
para pegawai;
- Mendistribusikan
pekerjaan sesuai dengan kapasitas pegawai; dan
- Mengapresiasi
hasil pekerjaan pegawai.
Pemimpin transformasional mengubah
dan memotivasi pengikutnya dengan:
a. Membuat mereka lebih menyadari pentingnya dan nilai hasil dari sutau tugas
b. Mengajak mereka untuk mengatasi kepentingan mereka sendiri demi kepentinan
organisasi atau kelompok lain
c. Menggerakkan pada tingkat kebutuhan
yang lebih tinggi
Ciri-ciri
Pemimpin Transformasional:
1. Melihat diri sendiri sebagai wakil dari proses perubahan
2. Berhati-hati dalam mengambil resiko
3. Memberi kepercayaan terhadap orang-orang dan memahami kebutuhannya
4. Mampu memberi penjelasan mengenai nilai-nilai yang ditampilkan melalui
tingkah laku mereka sehari-hari
5. Fleksibel dan terbuka untuk belajar dari pengalaman
6. Memiliki keahlian kognitif dan percaya terhadap suatu disiplin ilmu yang
dibutuhkan untuk menganalisis suatu masalah
7. Memiliki keyakinan terhadap intuisinya
Ciri-ciri Lain Kepemimpinan
Transformasional:
1. Mengembangkan suatu kejelasan dalam penyampaian visi
2. Mengembangkan strategi untuk mencapai visi
3. Mengkomunikasikan dan mempromosikan visi
4. Tindakan yang memberi keyakinan dan optimisme
5. Memberi kepercayaan kepada pengikut
6. Merayakan suatu kesuksesan
7. Menggunakan tindakan-tindakan dramatis dan simbolis untuk menekankan
nilai-nilai utama
8. Memimpin dengan menggunakan contoh
9. Menciptakan, memodifikasi, atau mengeliminasi bentuk-bentuk budaya
10.Menggunakan upacara-upacara untuk membantu orang-orang dalam meneruskan
proses perubahan
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengaruh
Kepemimpinan Transformasional
a.
Kepemimpinan Transformasional Terhadap Perilaku
Ekstra Peran
Pada makalah Podsakoff et al., (1990 dalam
Utomo, 2002) bahwa perilaku kepemimpinan mempengaruhi bawahan untuk
menghasilkan kinerja melebihi apa yang seharusnya atau melebihi level minimum
yang dipersyaratkan organisasi. Dalam pandangan yang sama, makalah DiPoala dan
Tschannen-Moran (2001, dalam Tschannen-Moran, 2003) “dengan latar belakang
lingkungan pendidikan menunjukkan sebuah hubungan kuat antara gaya kepemimpinan
pada lingkungan universitas dengan perilaku ekstra peran”. Organ dan
Ryan (1995, dalam Tschannen-Moran, 2003) juga menjelaskan bahwa kepemimpinan
yang mendukung memiliki hubungan dengan perilaku ekstra peran.
b.
Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan
akan Kualitas Kehidupan Kerja
Kualitas
kehidupan kerja mempengaruhi kinerja organisasi, artinya, kinerja seseorang
akan meningkat ketika kualitas kehidupan kerja dari individu berada pada posisi
yang tinggi. Kualitas kehidupan kerja pada beberapa makalah dihubungkan dengan
kepemimpinan, dimana kepemimpinan yang efektif akan selalu memberikan dampak
dengan meningkatnya kualitas kehidupan kerja dari bawahannya. Makalah Podsakof
et al. (1996), menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki
hubungan yang signifikan dengan kepuasan akan kualitas kehidupan kerja secara
menyeluruh.
c.
Kepemimpinan
Transformasional Terhadap Komitmen Organisasi
Pada dasarnya secara organisasional komitmen karyawan dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya melalui perilaku kepemimpinan,
seperti yang dikemukankan oleh Su-Yung Fu (2000) bahwa selain kepemimpinan
transformasional, hal lain yang penting dalam perilaku organisasional adalah
komitmen organisasi. Dalam tiga dekade terakhir, komitmen organisasi telah
dipandang sebagai salah satu variabel yang paling penting dalam mempelajari
manajemen dan perilaku organisasi. Yousef (2000) mengemukakan bahwa terdapat
hubungan secara positif antara perilaku kepemimpinan dengan komitmen
organisasi.
d.
Kepuasan
Atas Kualitas Kehidupan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi
Secara dominan
hasil-hasil makalah telah membuktikan bahwa kepuasan akan kualitas kehidupan
kerja mempengaruhi komitmen seorang karyawan terhadap organisasi yang
mempekerjakannya (Currivan, 2000). Menurut Lam dan Zhang (2003) bahwa
“ekspetasi tidak tercapai yang terjadi dikalangan karyawan banyak dihubungkan
dengan dua hasil dominan dari proses sosialisasi, yaitu komitmen organisasional
(Tannenbaun et al., 1991; Wanous et al., 1992, dalam Lam dan Zhang, 2003).
Lawler dan Mueller (1996, dalam Currivan, 2000) menyimpulkan bahwa kepuasan
akan kualitas kehidupan kerja memainkan peran penting terhadap komitmen
organisasional.
e.
Kepuasan
Atas Kualitas Kehidupan Kerja Terhadap Perilaku Ekstra Peran
Murpy et al.,
(2002) dalam makalahnya membuktikan bahwa kualitas kehidupan kerja berhubungan
signifikan dengan perilaku ekstra peran. Spector (1997, dalam Robbins,
2003:105) mengatakan bahwa tampaknya logis untuk mengandaikan bahwa kepuasan
terhadap kualitas kehidupan kerja seharusnya merupakan penentu utama dari
perilaku kewarganegaraan yang baik dari seorang karyawan (organizational citizenship
behavior-OCB).
f.
Komitmen
Organisasi Terhadap Perilaku Ekstra Peran
Hasil-hasil makalah
yang telah dilakukan seperti pada makalah Carson dan Carson, 1998; Morrison,
1994; Munene, 1995; Organ, 1990; Puffer, 1987; O‟Reilly dan Chatman, 1986;
Bateman dan Organ, 1983, secara empiris mendukung adanya hubungan antara
komitmen organisasi dan perilaku ekstra peran (dalam Alotaibi, 2001). Demikian
halnya dengan makalah Su-Yung Fu (2000) bahwa beberapa hasil makalah
mengindikasikan bahwa komitment organisasi (maupun kepuasan kerja) secara
keseluruhan memiliki hubungan dengan perilaku ekstra peran. Secara khusus
menurut Alotaibi (2001) “komitmen afektif dan kepuasan kerja seringkali
dipertimbangkan sebagai antasenden terhadap pro-social, extra-role
behavior dalam organisasi.
B. Model Kepemimpinan Transformasional (Model of
Transformational Leadership)
Model kepemimpinan
transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi
kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit
mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model
ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan
transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam
organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang
pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk
mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung
memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi
agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat
mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.
Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada
hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk
melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Pemimpin transformasional harus
mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi,
dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass
(1988) menyatakan bahwa “the dynamic of transformational leadership involve
strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of
the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for
compliance”. Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang
karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi
mencapai tujuannya.
Dimensi yang pertama disebutnya sebagai
idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan
sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati
dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational
motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional
digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang
jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh
tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui
penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai
intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional
harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada
bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan
tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized
consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin
transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan
dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir
C. Kelebihan dan kekurangan kepemimpinan
transformasional
Kelebihan dari kepemimpinan
transformasional :
1. Tidak membutuhkan biaya yang
besar (organisasi profit)
2. Komitmen yang timbul pada
karyawan bersifat mengikat emosional
3. Mampu memberdayakan potensi
karyawan
4. Meningkatkan hubungan
interpersonal
Kekurangan dari kepemimpinan transformasional
:
1. Waktu
yang lama agar komitmen bawahan tumbuh terhadap pemimpin
2.
Tidak ada jaminan keberhasilan pada bawahan secara menyeluruh
3.
Membutuhkan pehatian pada detail
4.
Sulit dilakukan pada jumlah bawahan yang banyak
Dalam menerapkan suatu model
kepemimpinan maka perlu di perhatikan :
1.
Tingkat keterampilan dan pengalaman tim anda.
2.
Pekerjaan yang dilakukan (rutin atau baru dan kreatif)
3.
Lingkungan organisasional (stabil atau berubah radikal, konservatif )
4. Gaya
alami pilihan anda.
D.
Urgensi
Kepemimpinan Transformasional
Gary Yulk dalam Leadership
in Organization (1989), amat gamblang memperlihatkan karakter dari
kepemimpinan transformatif itu.
Pertama, fokus kepemimpinan transformatif pertama-tama terarah pada
kepentingan bawahannya. Di sini animo utama dari pemimpin adalah perbaikan
kondisi bawahan. Jadi ia membawa bawahan keluar dari kondisi keterpurukannya
menuju kondisi yang lebih baik. Upaya itu diwujudkan dengan kebijakan-kebijakan
yang memungkinkan perbaikan itu.
Kedua,
pemimpin transformatif berupaya untuk memberikan perhatian pada nilainilai etis.
Artinya, perhatian pemimpin transformatif juga terkait dengan perbaikan
kualitas moralitas dan motivasi dari bawahan yang dipimpinnya. Dengan kata
lain, pemimpin transformasional menyuarakan cita-cita dan nilai-nilai moral
seperti kemerdekaan, keadilan, tanggung jawab sosial lewat empati. Landasannya
ialah bahwa setiap orang berharga baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Karena itulah ia harus diangkat dan dihargai secara total. Jadi, pemimpin
membangkitkan kesadaran dari pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih
tinggi.
Ketiga, pemimpin transformatif tidak menggurui, melainkan mengaktifkan para
pengikut untuk melakukan inovasi-inovasi untuk bangkit dari keterpurukannya. Di
sini Yulk memperlihatkan bahwa seorang pemimpin bukan sebagai penentu segalanya,
melainkan pendamping dan partner bagi bawahannya
Keempat, kepemimpinan transformatif mengandung muatan stimulasi intelektual.
Dalam sistem seperti ini intensi penguasa adalah meningkatkan kesadaran pengikutnya
akan masalah-masalah konkret dan memandang masalah itu dari perspektif yang
baru. Jadi, ada semacam konsistensi.
Kelima,
kepemimpinan transformatif menghidupkan dialog dalam strata sosial lewat komunikasi
politik yang sehat. Dialog ini mengandaikan adanya keterbukaan dan visi yang
jelas dari seorang pemimpin.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepemimpinan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan
berorganisasi. Banyak gaya kepemimpinan dapat dipilih untuk kemudian diterapkan
oleh seorang pemimpin dalam organisasi yang dipimpinnya. Sekalipun gaya
kepemimpinan transformasional diyakini oleh banyak pihak sebagai salah satu
gaya kepemimpinan yang terbaik, namun pelaksanaanya membutuhkan beberapa
kondisi, baik dalam diri si pemimpin maupun kondsi organisasinya.
Hasil dari makalah
ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh signifikan
terhadap perilaku ekstra peran.
2.
Kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kualitas kehidupan
kerja.
3. Kualitas
kehidupan kerja memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku ekstra peran.
B.
Saran
Berikut ini
saran yang dapat diberikan:
1. Bagi pimpinan dapat mempertahankan kepemimpinan transformasional
dan memberikan pemahaman tentang perilaku ekstra peran sehingga mereka dapat
lebih menunjukkan sikap saling membantu.
2. Perusahaan
hendaknya melakukan peninjauan kembali terhadap penerapan QWL selama ini, salah
satunya pada indikator pelatihan dan pendidikan dengan memberikan beasiswa yang
lebih banyak agar karyawan dapat merasakan manfaat positif dari penerapan QWL.
3.
Perlu dilakukan makalah lanjutan dengan mempertimbangkan cakupan obyek makalah
yang lebih luas, agar lebih dalam menggali faktor-faktor yang mempengaruhi
kepemimpinan transformasional, kualitas kehidupan kerja maupun perilaku ekstra
peran.
DAFTAR PUSTAKA
Barling, J., Webber, T., dan Kelloway, E.K. 1996. Effect of Transformasional
Leadership Training on Attitudinal and Financial Outcomes: A Field Experiment.
Journal of Applied Psychology, 81: 827-832.
Bass, B.M. 1990. Bass and Stogdill's Handbook of Leadership. New York: Free
Press.
Bass, B.M. 1990. From Transactional to Transformational Leadership: Learning to
Share the Vision. Organizational Dynamics. Dalam Steers, R.M., Porter, L.W.,
dan Bigley, G. A. (Eds.). 1996. Motivation and Leadership at Work. Sixth
Edition. New York: The McGraw-Hill Companies. 628-640.
Bass, B.M. 1997. The Transactional-Transformational Leadership Paradigm
Transcend Organizational and National Boundaries? Journal American
Psychologist, 52: 130¬139.
Daft, R.L. 1999. Leadership Theory and Practice. Florida: The Dryden Press.
Howell, J.M., dan Hall-Merenda, K.E. 1999. The Ties That Blind: The Impact of
Leader-Member Exchange, Transformational and Transactional Leadership, and
Distance on Predicting Follower Performance. Journal of Applied Psychology, 84
(5): 680-694.
Judge, T.A., dan Bono, J.E. 2000. Five-Factor Model of Personality and
Transformational Leadership. Journal of Applied Psychology, 85 (5): 751-765.
Koh, W.L., Sterrs, R.M., dan Terborg, J. R. 1995. The Effect of Transformational
Leadership on Teacher Attitudes and Student Performance in Singapore. Journal
of Organizational Behavior, 16: 319-333.
Nanus, B. 1992. Visionary Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Nicholls, J. 1994. The "Heart, Head, and Hands" of Transforming
Leadership. Leadership and Organization Development Journal, 15 (6): 8-15.
Pawar, B.S., dan Eastman, K.K. 1997. The Nature and Implications of Contextual
Influences on Transformational Leadership: A Conceptual Examination. Academy of
Management Review, 22 (1): 80-109.
Popper, M., dan Zakkai, E. 1994. Transactional, Charismatic, and
Transformational Leadership: Condition Conductive To Their Predominance.
Leadership and Organization Development Journal, 15 (6): 3-7.
Yukl, G.A. 1998. Leadership in Organization. Second Edition. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.